Pendidikan latihan dasar (Diklatsar) kepecinta alaman merupakan hal yang wajib dilaksanakan bagi para calon anggota pecinta alam yang akan masuk kepecinta alam yang terorganisir (Sispala, Mapala, OPA yang lain), , karena hal tersebut merupakan pintu masuk (rekruitmen awal)menjadi anggota resmi pecinta alam, namun bagi sebagian besar calon anggota terutama yang hanya tahu sedikit tentang pecinta alam Diklatsar merupakan momok yang menakutkan, karena identik dengan kekerasan, walaupun pada dasarnya kekerasan yang ada di diklatsar pecinta alam itu tidaklah sekeras pola pendidikan taruna di IPDN, sekolah pelayaran, dan lembaga pendidikan yang menerapkan pola pendidikan semi militer. Kekerasan di diklatsar hanyalah sekedar bentakan, jarang adanya kekerasan dengan pukulan,tendangan, dan hal fisik lainnya yang mematikan (adapun kejadian meninggalnya calon anggota dibeberapa mapala itu karena kasuistic), ada hukuman yang diterapkan ketika ada kesalahan calon anggota itupun hanya push up.
Dalam diklatsar sebetulnya pola pendidikan pecinta alam kita bukanlah kekerasan, tapi mengajarkan ketegasan, kedisiplinan dan bagaimana caranya seorang angota pecinta alam itu tanggap dengan kondisi yang ada di sekitarnya, serta menumbuhka loyalitas dan dedikasi terhadap organisasi.
Topik pendidikan latihan dasar di mapala kita sebetulnya belakangan ini sudah menjadi topik diskusi yang menarik, adanya pro kontra dengan dihilangkannya praktek bentakan dan hukuman dan dengan berbagai argumen yang dimunculkan, banyak yang menentang dihilangkannya tradisi bentakan namun ada juga yang mendukung pola pendidikan latihan dasar dengan metode baru yang masih dalam wacana. Namun perbedaan itu bukanlah menjadi hal yang menyebabkan perpecahan dikalangan kita.
Adanya perbedaan pola pendidikan latihan dasar di setiap OPA adalah otoritas penuh masing-masing organisasi pecinta alam, tidak ada standar baku yag diterapkan di seluruh pecinta alam Indonesia. Kurikulum pendidikan pecinta alam secara nasional pernah akan dibahas di forum TWKM (Temu Wicara Kenal Medan), namun mayoritas organisasi mapala yang hadir pada saat itu menentang adanya penyamaan pola pendidikan mapala, dengan alasan mapala bukan seperti organisasi yang lain yang mengandalkan sistem organisasi top down (maksudnya dari organisasi yang mempunyai kepengurusan dari pusat ke daerah sampai ranting seperti halnya Pramuka dan organisasi pemerintah lainnya) tapi sistem organisasi Mapala adalah bottom up yang tumbuh dari bawah ( ingat kita solid karena kita bersatu dari kalangan grass root)
Namun ada baiknya memang kita istropeksi bersama-sama benarkah sistem pendidikan pecinta alam kita sudah bagus? Masihkah relevan sistem pendidikan latihan dasar pecinta alam selama ini? Kenapa sekarang peminat calon anggota pecinta alam sedikit? Kenapa banyak anggota pecinta alam yang sudah masuk ke organisasi pada ogah-ogahan mengelola organisasinya?benarkah loyalitas dan dedikasi anggota pecinta alam terhadap organisasinya sudah mulai hilang?benarkah solidaritas antar organisasi PA juga mulai luntur? Dan banyak lagi pertanyaan kenapa- kenapa yang lain.
Pertanyaan- pertanyaan di atas sebetulnya saya yakin bisa terjawab kalau kita mau berpikir kritis dengan kondisi pecinta alam sekarang ini, paradigma pecinta alam zaman dulu, dengan pecinta alam zaman sekarang sangat berbeda, dulu kita akan bangga ketika pasca diklatsar, bangga telah lolos dari pendidikan yang kita anggap hebat, bangga dapat syal kebanggaan kita, bangga dengan seragam kita, bangga bahwa kita adalah orang-orang yang berani menaklukan tantangan (the winner from the challenger), setelah masuk dan menjadi anggota muda kita akan dengan senang hati menuruti perintah senior tanpa merasa adanya tekanan (menunjukan dedikasi kita ke senior), kitapun akan bangga (walaupun dalam prosenya kita banyak pengorbanan)ketika kita bisa melaksanakan sebuah event yang diadakan oleh organisasi kita (menunjukan loyalitas dan dedikasi ke organisasi) , dan kitapun akan semangat dan bangga ketika kita menyelesaikan jenjang pendidikan pasca diklatsar, diklan( pendidikan lanjut),melaksanakan pelatihan dan pendidikan yang lain untuk bisa memenuhi tugas akhir (pengembaraan/ekspedisi)supaya mendapat nomor keanggotaan dan menjadi anggota tetap organisasi. Setelah itu kita siap utuk menjadi pengurus organisasi.
Semua itu kita lakukan tanpa adanya keterpaksaan, pengorbanan waktu, kuliah, financial dan pengorbanan-pengorbanan yang lain tidak kita anggap sebagai hal yang berat, kita merasa bangga dengan kita menunjukan loyalitas, dedikasi kita ke organisasi, kita merasakan solidaritas yang tinggi ketika kawan kita sesama pecinta alam sedang mengadakan event, kita bangkit bersama dan merapatkan barisan ketika kita merasa di injak-injak oleh orang lain, kita bahkan tidak peduli dengan siapa kita berhadapan walaupun mereka orang-orang yang berpengaruh (dosen, bahkan rektor, ataupun pihak birokrasi).tapi kini apakah kita masih merasakan hal itu? Saya yakin masih ada solidaritas antar OPA, masih ada loyalitas dan dedikasi ke organisasi cumaaaaa......prosentasenya menurun.
Hal itulah yang harus kita instrropeksi bersama-sama, masih perlukah sistem lama ketika kita melakukan rekruitmen anggota baru?masih perlukah sikap senioritas kita? Kita harus bisa memahami paradigma baru OPA sekarang kalau kita tetap bertahan dengan sistem pendidikn yang lama kemungkinan besar anggota OPA semakin sedikit, kita perlu adanya penyegaran sistem, kita perlu membuat sistem rekruitment anggota sesuai dengan kondisi saat ini, kita tidak bisa memaksakan status quo kita sebagai senior, karena pecinta alam sekarang lebih kritis, lebih cerdas untuk bisa mengelola sebuah sistem pendidikan, dan kita sebagai senior jangn terlalu jauh intervensi dengan adik-adik kita. Biarkan adik-adik kita berkiprah dengan cara mereka sendiri ( di ambil dari kata-kata di kaos MAHAPEKA UIN Gunung Jati Bandung). So... Satu Bumi Satu Keluarga....!majulah pecinta alam Indonesia.
Kurikulum Pendidikan Organisasi Pecinta Alam Perlukah?
Kurikulum Pendidikan Organisasi Pecinta Alam Perlukah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Budhe kira perlu banget tu Mas adanya juklak pendidikan PA supaya memiliki orientasi yang sama antar organisasi PA yaitu kepandaian kita membaca secara luas tanda-tanda kebesaran Allah Ta'alla,menikmati,menghayati serta melestarikannya.Gitu ya...whala...budhe sok tau nich..
Trus para penuda berseragam yg budhe kira PA malah ninggalin sampah plastik berserakan itu apa ya kasuistik juga yak.Perekrutannya ga'pake ritual nyang entu tuh bikin mengkered duluan untuk calon anggota.Whell!!Sukses ya Mas...
waduh budhe,saya seneng bacanya komentar budhe, itu yang sebetulnya pengen di rubah, mungkin sudah beda zaman ya budhe?, dulu kita masih gk masalah dg yang namanya bentakan, tapi anak2 zaman sekarang sudah lebih kritis lg, lebeih ke pendidikan andragogic(dua arah) daripada pedagogic(satu arah)mungkin seperti itu ya bude? :-) thanks budhe supportnya
betul sekali, menurut akupun seperti itu, latdas mapala bisa menjalin ikatan emosi yang erat, tapiiii, untuk sekarang outputnya beda dengan yang dulu bro... mungkin ya karena ada perubahan paradigma kalee? thanks bro comentnya :-)
salam kenal!!!
sudah saatnya Pecinta Alam memiliki satu kurikulum dasar dalam melaksanakan pendidikan secara nasional kalau bisa,
namun begitu tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing organisasi memiliki kurikulum sendiri, yang diklaim mungkin terbaik menurut mereka dibandingkan yang lain.
nah untuk mempersatukannya memang agak sulit, namun bukan berarti tidak bisa, diperlukan ekstra kerja keras, dari semua pihak dan yang paling utama adalah adanya fasilitator yang bisa mempersatukan PA-PA ini. dan fasiltator yang paling tepat menurut saya adalah Pemerintah.
Kurikulum ini diperlukan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
kalo PA yg di kampus2 sih mungkin daya pikirnya udah mulai dewasa, ya. nah untuk yang siswa SMA inilah yang saya rasa cukup sulit. tau sendiri anak remaja jaman skrng bagaimana, lebih memilih yg "enak2", tidak sedikit siswa yg masuk PA, masuk gara2 ikut2 temennya, pengen hiking2, ato "accidental". pastinya itu yg saya rasakan jg dulunya. beberapa materi untuk persiapan fisik dan mental khususnya dirasa terlalu mengada2 oleh siswa, dan tidak sedikit yg "trauma", padahal udah dijelasin tujuan pendidikan buat persiapan nantinya di alam. banyak pengen instan, pengen cepet2 fun2nya aja, yg seneng2. emang naik gunung nggak cape apa, melihat anugrah Tuhan jg butuh perjuangan. sebelumnya tidak jarang disispi kegiatan main keluar, climbing, rafting, hiking, ya semacam wisat alam. btw, ada yg pernah jalan buntu buat ngatasin mental siswa2 yg "lembek" sata2 ini ? (sistilahnya udah nyampe ditenga "jalan" minta pulang gtiu aka nyerah). trims pls share2nya kk.. :)
perlu dong Pencita Alam bukan orgonisasi liar
Posting Komentar