headerphoto

SURAT AL KAFIRUN DAN AL IKHLASH

Ada sebuah pertanyaan dari masa kecil dulu yang baru terjawab belakangan ini,di zaman kecilku kenapa kalau sholat jama’ah maghrib di masjid, imam sholat selalu istiqomah membaca surat Al Kafirun di rokaat pertama dan Al Ikhlash di roka’at kedua setelah membaca alfatikhah, pertanyaan itu selalu terlontar dari kecil baik ke ibuku sebagai guru ngaji pertamaku, ke ustadz ustadz ke kyai ataupun orang-orang yang aku anggap lebih tahu tentang agama Islam ketika mengikuti kajian-kajian yang beliau-beliau adakan.
Namun aku selalu menemukan jawaban yang sama dan tidak memuaskan apa yang aku pikir harusnya lebih, karena pertanyaan yang aku ajukan itu jawaban- jawabannya hampir 100% mirip yaitu “taklid saja pada guru dan orang tua kita” beliau-beliau selalu mengeluarkan jurus andalan yang bernama taklid atau mengikuti saja apa yang di ucapkan guru (ustadz/kyai) tanpa membantah dan mempertanyakan.
Kadang ada pemikiran nakal terbersit “bagaimana kalo ternyata guru kita memerintahkan hal yang menutrutku salah (apakah mungkin) ? Apakah akan selalu dituruti juga?’’ Karena hal tersebut akhirnya membuat aku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu ingin tahu, kenapa seh kita harus selalu mengikuti kata guru? Karena kata orang-orang tua jawa, guru itu asalnya dari kalimat “digugu lan di tiru” (di percaya dan diikuti).
Kembali lagi ke surat Al Kafirun dan Al Ikhlash yang dibaca imam sholat maghrib setelah membaca surat Fatikhah, baru-baru ini aku menemukan jawaban yang aku anggap menghilangkan rasa “dahaga” penasaranku selama ini, itupun muncul dari seorang ustadz yang melakukan penafsiran kontekstual dan melihat dari sudut pandang filsafat yang sedang berkembang di zaman ini.
Ternyata maksud dari di bacanya surat Al Kafirun setelah roka’at pertama adalah, bahwa kita sebagai umat muslim harus menghormati kepercayaan agama lain, namun bukan berarti harus mengikuti ajarannya karena dalam ayat terakhir surat Al Kafirun berbunyi “lakum diinukum waliyadiin” yang artinya “agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu”. Di roka’at kedua setelah surat Al Fatikhah imam membaca surat al Ikhlash maksudnya adalah, setelah kita menghormati kepercayaan atau agama orang lain maka harus memperkuat ketaukhidan kita, dengan tetap mempercayai bahwa Allah maha esa, tidak beranak dan di peranakan.
Kedua surat itu oleh imam masjid dengan istiqomah di baca setiap sholat maghrib, ternyata dimaksudkan supaya kita menghormati kepercayaan dan agama lain dengan tanpa membuat kita melupakan ajaran ketaukhidan yang ada dalam Islam, dan Allah sudah memerintahkan itu sejak zaman rosulullah.
Kesimpulannya adalah kita jangan sampai terjebak dalam kefanatikan yang berlebihan dengan hanya mengikuti apa yang dikatakan guru dan orang tua kita, namun kita juga harus belajar bertanya dan menganalisa apa yang di perintahkan guru atau orang tua kita tanpa mengurangi rasa hormat ke beliau-beliau. Wallahu a’lam

0 komentar: